Assalamu'alaikum wr. wb.

Selamat Datang diblog nya Aditya Rizka..

Wednesday, November 7, 2012

Aspek Legal Praktik dalam Keperawatan


A. Legal Praktik Keperawatan
Legal adalah sesuatu yang dianggap sah oleh hukum dan Undang-undang. Legal praktik keperawatan berarti praktik keperawatan yang sudah disah kan oleh hukum, artinya sudah memiliki izin prakti perawat.
Perawat perlu tau tentang hukum yang mengatur prakteknya untuk memberikan kepastian bahwa keputusan dan tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hukum serta melindungi perawat dari liabilitas.
UU No.23/1992 Tentang Kesehatan terdiri dari 3 pasal dan 3 ayat, yaitu :
1. Pasal 32 ayat 4
“Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.”
2. Pasal 53 ayat 1
“Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.”
3. Pasal 53 ayat 2
“Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.”
Pasal krusial dalam kepmenkes 1239/2001 tentang praktik keperawatan, antara lain :
1. Melakukan asuhan keperawatan meliputi Pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan dan evaluasi.
2. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis dokter
3. Dalam melaksanakan kewenangan perawat berkewajiban :
a. Menghormati hak pasien
b. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani
c. Menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
d. Memberikan informasi
e. Meminta persetujuan tindakan yang dilakukan
f. Melakukan catatan perawatan dengan baik
4. Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang , perawat berwenang melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
5. Perawat yang menjalankan praktik perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang praktiknya
6. Perawat yang menjalankan praktik perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktik  (sedang dlam proses amandemen)
7. Perawat yang memiliki SIPP dapat melakukan asuhan dalam bentuk kunjungan rumah
8. Persyaratan praktik perorangan sekurang-kurangnya memenuhi :
a. Tempat praktik memenuhi syarat
b. Memiliki perlengkapan peralatan dan administrasi termasuk formulir /buku kunjungan, catatan tindakan dan formulir rujukan.

B. Standar Pelayanan (Standard of Care)
Standar pelayanan merupakan pedoman legal bagi praktik keperawatan dan memberikan batasan minimum pelayanan keperawatan yang diterima. Standar tersebut mencerminkan nilai-nilai dan prioritas profesi. American Nurses Association (ANA) telah membangun standar baagi praktik keperawatan, pernyataan kebijakan, dan penyelesaiannya. Standar tersebut menguraikan cakupan fungsi dan peran perawat dalam praktik.
Standar pelayanan keperawatan ditentukan dalam setiap Nurse Practice Acts negara bagian oleh hukum negara bagian dan federal (tentang rumah sakit dan institusi pelayanan kesehatan lainnya), oleh organisasi keperawatan spesialis dan profesional, dan oleh kebijakan dan prosedur yang ditentukan oleh fasilitas pelayanan kesehaan dimana perawat bekerja (Guido, 2006 dalam potter perry, 2009)

C. Perjanjian atau Kontrak dalam Perwalian
Kontrak mengandung arti ikatan persetujuan atau perjanjian resmi antara dua atau lebih partai untuk mengerjakan sesuatu atau tidak. Dalam konteks hukum, kontrak sering disebut dengan perikatan atau perjanjian. Perikatan artinya mengikat orang yang satu dengan orang lain.
Hukum perikatan di atur dalam UU Hukum Perdata pasal 1239 : “semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termasuk dalam bab ini dan bab yang lalu.” Lebih lanjut menurut ketentuan pasal 1234 KUHPdt, setiap perikatan adalah untuk memberikan, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Perjanjian dapat diaktakan sah bila memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat janji (Consencius)
2. Ada kecakapan terhadap pihak-pihak untuk membuat perjanjian (Capacity)
3. Ada sesuatu hal tertentu (a certain subject matter) dan ada sesuatu sebab yang halal
4. Kontrak perawat pasien dilakukan sebelum melakukan asuhan keperawatan
5. Kontrak juga dilakukan sebelum menerima dan diterima di tempat kerja
6. Kontrak perawat pasien digunakan untuk melindungi hak-hak kedua belah pihak yang bekerjasama
7. Kontrak juga untuk menggugat pihak yang melanggar kontrak yang di sepakati.

D. Batasan Tanggung Jawab dalam Keperawatan
Menjalankan pesanan dokter. Empat hal yang harus ditanyakan perawat untuk melindungi mereka secara hukum antara lain :
1. Tanyakan pesanan yang ditanyakan pasien
2. Tanyakan setiap pesanan setiap kondisi pasien berubah
3. Tanyakan dan catat pesan verbal untuk mencegah kesalahan komunikasi
4. Tanyakan pesanan, terutama bila perawat belum berpengalaman


E. Fungsi Hukum dalam Praktek Keperawatan
1. Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai dengan hukum.
2. Membedakan tanggung jawab perawat dengan tanggung jawab profesi lain
3. Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri.
4. Membantu dalam mempertahankan standar praktik keperawatan dengan meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum

Tuesday, November 6, 2012

Malpraktik dalam Keperawatan


A. Definisi Malpraktik dalam Keperawatan
Dalam suatu kasus di California tahun 1956 Gumawadi (1994) mendifinisikan malpraktik adalah                   kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan wilayah yang sama.
Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter/perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan/perawatan terhadap seorang pasien, yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit/terluka dilingkungan wilayah yang sama. (Yulianus, Malpraktek 2003)
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukan kinerja sesuai bidang tugas/pekerjaannya. Malpraktik dalam keperawatan adalah suatu batasan yang digunakan untuk menggambarkan kelalaian perawat dalam melakukan kewajibannya.

B. Jenis Malpraktik
Malpraktik terbagi kedalam tiga jenis, yaitu malpraktik kriminil (pidana), malpraktik sipil (perdata) malpraktik etik.
1. Malpraktik kriminal (pidana) merupakan kesalahan dalam menjalankan praktek yang berkaitan dengan pelanggaran UU Hukum “pidana”. Yaitu seperti :
a. Menyebabkan pasien meninggal/luka karena kelalaian
b. Melakukan abortus
c. Melakukan pelanggaran kesusilaan/kesopanan
d. Membuka rahasia kedokteran/keperawatan
e. Pemalsuan surat keterangan
f. Sengaja tidak memberikan pertolongan pada orang yang dalam keadaan bahaya.
2. Malpraktik sipil (perdata). Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan malpraktik sipil apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikatagorikan malpraktik sipil antara lain :
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
3. Malpraktik etik, merupakan tidakan keperawatan yang bertentangan dengan etika keperawatan, sebagaimana yang diatur dalam kode etik keperawatan yang merupakan seperangkat standar etika, prinsip, aturan, norma yang beraku untuk perawat.

C. Malpraktik dalam Keperawatan
Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan malpraktik. Malpraktik lebih spesifik dan terkait dengan status profesional seseorang, misalnya perawat, dokter, atau penasihat hukum.
Vestal, K.W. (1995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila penggugat dapat menunjukan hal-hal dibawah ini.
1. Duty, pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya yaitu, kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi. Hubungan perawat-klien menunjukan bahwa melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.
2. Breach of the duty, pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.
3. Injuri, seseorang mengalami cedera (injury) atau kerusakan (damage) yang dapat dituntut secara hukum. Misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Keluhan nyeri, adanya penderitaan, atau stres emosi dapat dipertimbangkan sebagai akibat cedera jika terkait dengan cedera fisik.
4. Proximate caused, pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami pasien. Misalnya, cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien.
Sebagai penggugat, seseorang harus mampu menunjukan bukti pada setiap elemen dari keempat elemen di atas. Jika semua elemen itu dapat dibuktikan, hal ini menunjukan bahwa telah terjadi malpraktik dan perawat berada pada tuntutan malpraktik. Tuntutan malpraktik dapat bersifat pelanggaran sebagai berikut.
1. Pelanggaran etika profesi. Pelanggaran ini sepenuhnya tanggung jawab organisasi profesi (Majelis Kode Etik Keperawatan) sebagaimana tercantum pada pasal 26 dan 27 Anggaran Dasar PPNI. Sebagaimana halnya dokter, perawat pun merupakan tenaga kesehatan profesional yang menghadapi banyak masalah moral/etik sepanjang melaksanakan praktik profesional. Beberapa masalah etik, antara lain moral unprepareness, moral blindness, amoralssm, dan moral fanaatism. Masalah etika yang terjadi pada tenaga keperawatan ditangani organisasi profesi keperawatan (PPNI) melalui Majelis Kode Etik Keperawatan.
2. Sanksi administratif. Berdasarkan Keppres No. 56 tahun 1995 dibentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) dalam rangka pemberian perlindungan yang seimbang dan objektif kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima pelayanan kesehatan. MDTK bertugas meneliti dan menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan pemeriksaan MDTK, hasilnya akan dilaporkan kepada pejabat kesehatan berwenang untuk diambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan sebagaimana yang dimaksud tidak mengurangi ketentuan pada : pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu : (1) terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. (2) penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
3. Pelanggaran hukum. Pelanggaran dapat bersifat perdata maupun pidana. Pelanggaran bersifat perdata sebagaimana pada UU No.23 tahun 1992 pada pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi : (1) setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. (2) ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Caffee (1991) dalam Vestal, K.W. (1995) mengidentifikasi 3 area dimana perawat beresiko melakukan kesalahan, antara lain :
1. Assessment errors, termasuk kegagalan mengumpulkan data/informasi tentang pasien secara adekuat, atau kegagalan mengidentifikasi informasi yang diperlukan seperti data hasil pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda vital, atau keluhan pasien yang membutuhkan tindakan segera. Untuk menghindari kegagalan ini, perawat seharusnya dapat mengumpulkan data dasar secara komperhensif dan mendasar.
2. Planning errors, termasuk :
a. Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskan dalam rencana keperawatan.
b. Kegagalan mengkomunikasikan secara efektif rencana keperawatan yang telah dibuat.
c. Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien.
Untuk mencegah kesalahan tersebut diatas, jangan hanya mengira-ngira dalam membuat rencana keperawatan tanpa mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Seharusnya dalam menulis harus dengan pertimbangan yang jelas dengan berdasarkan masalah pasien. Bila dianggap perlu, lakukan modifikasi rencana berdasarkan data baru yang terkumpul. Rencana harus realistik, berdasarkan standar yang telah ditetapkan termasuk pertimbangan yang diberikan oleh pasien. Komunikasikan secara jelas baik secara liasan maupun dengan tulisan. Bekerja berdasarkan rencana dan lakukan secara hati-hati instruksi yang ada. Setiap pendapat perlu divalidasi dengan teliti.
3. Intervension errors, temasuk kegagalan menginterprestasikan dan melaksanakan tindakan kolaborasi, kegagalan melakukan asuhan keperawatan secara hati-hati, kegagalan mengikuti/mencatat order/perintah dari dokter atau supervisor. Untuk menghindari kesalahan ini, sebaiknya rumah sakit tetap melaksanakan program pendidikan berkelanjutan.

D. Pedoman Mencegah Malpraktik
Vestal, K.W (1995) memberikan pedoman guna mencegah terjadinya malpraktik, sebagai berikut :
1. Berikan kasih sayang kepada pasien sebagaimana anda mengasihi diri sendiri. Layani pasien dan keluarganya dengan jujur dan penuh rasa hormat.
2. Gunakan pengetahuan keperawatan untuk menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat dan laksanakan intervensi keperawatan yang diperlukan. Perawat mempunyai kewajiban untuk menyusun pengkajian dan melaksanakan pengkajian dengan benar.
3. Utamakan kepentingan pasien. Jika tim kesehatan lainnya ragu-ragu terhadap tindakan yang akan dilakukan atau kurang merespon terhadap perubahan kondisi pasien, diskusikan bersama dengan tim keperawatan guna memberikan masukan yang diperlukan bagi tim kesehatan lainnya.
4. Tingkatkan kemampuan anda secara teus menerus, sehingga pengetahuan yang dimiliki senantiasa up-to-date.
5. Jangan melakukan tindakan dimana tindakan itu belum anda kuasai.
6. Laksanakan asuhan keperawatan berdasarkan model proses keperawatan.
7. Catatlah rencana keperawatan dan respon pasien selama dalam asuhan keperawatan. Nyatakan secara jelas dan lengkap. Catatlah sesegera mungkin fakta yang anda observasi secara jelas,
8. Lakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya. Biasakan bekerja berdasarkan kebijakan organisasi/rumah sakit dan prosedur tindakan yang berlaku.
9. Pelimpahan tugas secara bijaksana, dan diketahui lingkup tugas masing-masing.

Kode Etik Keperawatan




1.      Definisi Etik
Isitilah etik berasal dari bahasa yunani, Ethos berarti budaya atau karakter (Blais. 2007).
Menurut Curtin, Etik adalah suatu disiplin yang diawali dengan mengidentifikasi, mengorganisasi, menganalisis dan memutuskan perilaku manusia dengan menerapkan prinsip-prinsip untuk mendeterminasi perilaku yang baik terhadap suatu situasi yang dihadapi (Priharjo. 1995).
Etik tidak hanya menggambarkan sesuatu, tetapi lebih kepada perhatian dengan penetapan norma atau standar kehidupan seseorang dan yang seharusnya dilakukan (Mandle, Boyle, dan O’Donohoe. 1994).
2.      Tipe-Tipe Etik
a.         Bioetik
Studi filosofi yang mempelajari tentang kontroversi dalam etik menyangkut masalah biologi dan pengobatan
b.        Clinical ethics
Bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada masalah etik selama pemberian pelayanan pada klien contoh: adanya pertujuan atau penolakan dan bagaimana sebaiknya seseorang merespon permintaan medis yang kurang bermanfaat.
c.         Nursing ethics
Studi formal tentang issue etik yang dikembangkan dalam tindakan keperawatanserta dianalisis untuk mendapatkan keputusan etik
3.      Teori Etik
a.         Utilitarian
Kebenaran atau kesalahan dari tindakan tergantung dari konsekwensi atau akibat dari tindakan contoh: mempertahankan kehamilan yang berisiko tinggi dapat menyebabkan hal yang tidakmenyenangkan, nyeri atau penderitaan pada semua organ yang terlibat.
b.        Deontologi
Aturan atau prinsip ; autonomi, informe concent, alokasi sumber – sumber atau euthanasia
4.         Prinsip-prinsip Etika Keperawatan Dalam Asuhan Keperawatan
a.         Auronomy (Otonomi)
Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembelaan diri. Praktek profesioanl merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
b.        Beneficience (Berbuat Baik)
Beneficience berarti melakukan sesuatu yang baikKebaikan adalah kewajiban untuk membantu orang lain dengan melakukan apa yang terbaik untuk mereka. Untuk perawat, ini berarti lebih dari memberikan perawatan fisik atau teknis yang berwenang.
c.         Justice (Keadilan)
Prinsip keadilan menuntut perlakuan terhadap orang lain yang adil dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Keadilan mewajibkan perawat dan profesional kesehatan lainnya untuk memperlakukan setiap orang sama tanpa memandang jenis kelamin, orientasi seksual, agama, penyakit, atau status sosial (Tepi dan Groves, 1994)
d.        Nonmalaficience (Tidak Merugikan)
Nonmalaficience ini mengisyaratkan bahwa perawat melindungi dari bahaya individu yang tidak mampu melindungi diri mereka sendiri karena kondisi fisik atau mental. Tugas perawat disini tidak hanya berbuat baik,tetapi juga tidak menimbulkan kejahatan, bahaya, atau resiko merugikan orang lain.
e.       Veracity (Kejujuran)
Prinsip kejujuran berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komperensensif, dan objektif untuk mengatakan sebenarnya kepada klien tentang keadaannya selama menjalani perawatan.
f.       Fidelity (Menepati Janji)
Prinsip fidelity ini dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain, khususnya perawat dalam menyimpan rahasia klien.
g.      Confidentiality (Kerahasiaan)
Prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasiklien segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatn kesehatan klien hanya bolej dibaca dalam rangka pengobatan pasien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Misalnya, seorang klien AIDS memilih untuktidak memberitahu keluarganya.
h.      Accountability (akuntabilitas)
Akuntabilitas berarti tanggungjawab menerima atas tindakan seseorang. Perawat bertanggung jawab kepada klien mereka dan rekan-rekan mereka saat memberikan pelayanan kepada klien, perawat bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, baik dan begitu baik.
5.         Kode Etik Keperawatan
Kode  etik keperawatan merupakan bagian dari etika  kesehatan yang menerapkan nilai etika terhadap bidang pemeliharaan atau pelayanan kesehatan masyarakat. Kode etik keperawatan diindonesia telah disusun oleh Dewan Pmpinan Pusat Persatuan Perawat Nasional indonesia melalui musyawarah nasional PPNI dijakarta pada tanggal 29 november 1989.
a.        Tanggung Jawab Perawat Terhadap Klien
1)        Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya, senantiasa berpedoman pada tanggung jawab yang bersumber dari adanya kebutuhan terhadap keperawatan individu, keluarga dan masyarakat.
2)        Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai – nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien
3)        Perawat dalam melaksanakan kewajiban terhadap individu, keluarga, dan masyarakat, senantiasa dilandasi rasa tulus ikhlas sesuai martabat dan tradisi luhur keperawatan.
4)        Perawat menjalin hubungan kerjasama dengan individu,keluarga, dan masyarakat, khususnya dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan, serta upaya kesehjateraan pada umumnya sebagai bagian dari tugas dan kewajiban bagi kepentingan masyarakat.
b.        Tanggungjawab Perawat Terhadap Tugas
1)        Perawat memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga dan masyarakat.
2)        Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya, kecuali jika diperlukan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3)        Perawat tidak akan mengguankan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang dimilikinya untuk tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.
4)        Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya, senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, agama yang dianut, dan kedudukan sosial.
5)        Perawat mengutamakan perlindungan dan keselamatan pasien/klien dalam melaksanakan tugas keperawatannya.
c.         Tanggungjawab Perawat Terhadap Teman Sejawat
1)        Perawat memelihara hubungan baik antar sesama perawat dan profesi kesehatan lainnya, baik dalam memelihara keserasian lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayana kesehatan secara menyeluruh.
2)        Perawat menyebarluaskan pengetahuan,  perawat menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan menunjukkan perilaku dan sifat-sifat pribadi yang luhur.
3)        Perawat berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan pelayanan keperawatan, serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan kesehatan dan pendidikan keperawatan.
4)        Perawat secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi profesi keperawatan sebagai sarana pengabdiannya.
d.        Tanggungjawab Perawat Terhadap Negara
1)        Perawat melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijaksanaan yang telah digariskan oleh pemerintah dalam bidang kesehatan dan keperawatan.
2)        Perawat berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran kepada pemerintah dalam meningkatkan  pelyanan kesehatan dan keperawatan dalam masyarakat.
e.         Tanggungjawab Perawat Terhadap Masyarakat
1)        Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung berbagai  kegiatan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat.

6.         Tujuan kode etik keperawatan
Pada dasarnya tujuan kode etik keperawatan adalah agar perawat dalam menjalankan setiap tugas dan fungsinya, dapat menghargai dan menghormati martabat manusia.  Tujuan kode etik keperawatan tersebut adalah sebagai berikut :
a.         Merupakan dasar dalam mengatur hubungan antar perawat, klien/pasien, teman sebaya, masyarakat, dan unsur profesi, baik dalam profesi keperawatan sendiri maupun hubungannya dengan profesi lain diluar profesi keperawatan.
b.        Merupakan standar untuk mengatasi masalah yang dilakukan oleh praktisi keperawatan yang tidak mengindahkan  dedikasi moral dalam pelaksanaan tugasnya.
c.         Untuk mempertahankan bila praktisi yang dalam menjalankan tugasnya diperlakukan secara tidak adil oleh institusi maupun masyarakat.
d.        Merupakan dasar dalam menyusun kurikulum pendidikan keperawatan agar dapat menghasilkan lulusan yang berorientasi pada sikap profesional keperawatan.
e.         Memberikan pemahaman kepada masyarakat pemakai/penggua tenaga keperawatan akan pentingnya sikap profesional dalam melaksanakan tugas praktik keperawatan.
7.         Fungsi kode etik keperawatan
a.         Menghindari ketegangan antar manusia
b.        Memperbaiki status kepribadian
c.         Menopang pertumbuhan dan perkembangan pribadi

Perkembangan dan Kiprah Organisasi Keperawatan



Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya perawat Indonesia memiliki suatu wadah/organisasi profesi yang disebut Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Sebelum organisasi ini berdiri, sebenarnya Indonesia telah lebih dulu memiliki sebuah organisasi keperawatan yang disebut dengan Perkoempoelan Kaoem Verpleger Boemi Batera (PKVB). Organisasi ini berdiri pada masa kolonial Belanda, tepatnya pada tahun 1928. Selanjutnya organisasi ini berubah nama menjadi Perkoempoelan Kaoem Verpleger Indonesia (PKVI). Perubahan Boemi Batera Menjadi Indonesia ini dilandasi oleh semangat nasionalisme perawat indonesia yang membuktikan bahwa verpleger (perawat) turut peran aktif dalam perjuangan bangsa melawan kolonialisme Belanda. Setelah Belanda kalah dan menyerah pada Jepang, Indonesia kemudian masuk kedalam cengkeraman Jepang. Pendudukan jepang yang kejam dan tidak manusiawi membuat penderitaan rakyat Indonesia semakin lama semakin berat. Kondisi ini berdampak pada seluruh aspek kehidupan bangsa, termasuk organisasi perawat. Pada masa penjajahan Jepang, organisasi perawat dapat dikatakan mengalami stagnasi, bahkan dapat dikatakan mundur.
Setelah Indonesia merdeka, angin segar pun berhembus bagi perkembangan organisasi perawat indonesia. Sayangnya, iklim yang kondusif ini tidak membuat perawat menyatu dalam satu wadah, melainkan terpecah-pecah kedalam beberapa kelompok berdasarkan daerah dan agama. Saat itulah banyak bermunculan organisasi perawat, diantaranya Persatuan Djuru Kesehatan Indonesia (PDKI) di ujung padang, Serikat Buruh Kesehatan (SBK) di Yogyakarta, dan Persatuan Djuru Rawat Islam (Perdjurais) di Jakarta. Perkembangan seperti ini sesungguhnya tidak menguntungkan bagi keperawatan nasional, terlebih dengan keterlibatan SBK dalam pemberontakan PKI (Depkes RI, 1989). Akhirnya, pada 1951, timbul kesadaran dari diri perawat indonesia untuk menyatu dalam satu wadah. Seluruh organisasi perawat diatas kecuali SBK, bergabung menjadi satu dengan nama Persatuan Djuru Kesehatan Indonesia (PDKI). Organisasi ini berdiri di bogor dan berkedudukan disana. Selanjutnya, berdasarkan hasil keputusan kongres di Bandung, PDKI berubah nama menjadi Persatuan Pegawai Dalam Kesehatan Indonesia. Perubahan ini juga terkait dengan keanggotaan PDKI semula hanya perawat dan bidan, kemudian bertambah dengan masuknya dokter dan pegawai lain yang bekerja di bidang kesehatan.
Selama periode tahun 1959-1974, terjadi perubahan pada organisasi perawat Indonesia yang ditandai dengan terbentuknya kelompok-kelompok organisasi perawat. Di kota Bandung misalnya, terbentuk sejumlah organisasi perawat yang mencakup Ikatan Perawat Wanita Indonesia (1960), Ikatan Guru Perawat Indonesia (1960), dan Ikatan Perawat Indonesia (1969). Lama kelamaan kondisi ini menjadi ancaman bagi eksistensi perawat. Padahal, disaat yang sama, profesi perawat dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi yang terus maju. Akhirnya, pada tanggal 7 Maret 1974, timbul kesadaran dalam diri perawat untuk menyatu dalam satu wadah organisasi, yaitu Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Saat ini PPNI merupakan satu-satunya organisasi profesi perawat yang resmi secara nasional.
Kiprah PPNI kian nyata dalam upayanya meningkatkan profesionalisme keperawatan. Salah satu prestasi PPNI yang cukup gemilang adalah masuknya kata “keperawatan” dan “ilmu Keperawatan” ke dalam Undang-undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Keberhasilan PPNI lainnya dapat dilihat dari meningkatnya jenjang pendidikan keperawatan. Mulanya, pendidikan keperawatan hanya diperoleh di Sekolah Perawat Kesehatan (setingkat SLTA). Seiring perkembangannya, pendidikan keperawatan kini telah mencapai jenjang perguruan tinggi, mulai dari tingkat akademi (Ahli Madya Keperawatan) sampai tingkat sarjana keperawatan (S1), bahkan sampai tingkat pascasarjana. Meski demikian, keberhasilan ini masih tergolong lamban bila dibandingkan dengan negara lain.
Organisasi PPNI sendiri berkewajiban membina dan mendorong anggotanya untuk meningkatkan profesionalisme mereka melalui peningkatan kualitas pendidikan, pengetahuan, keterampilan, serta keahlian. Karnanya, PPNI dituntut untuk terlibat secara langsung didalam upaya pembinaan dan pengawasan profesi keperawatan. Upaya pembinaan dan pengawasan ini antara lain terkait dengan kode etik keperawatan, standar profesi keperawatan, rekomendasi perizinan praktik keperawatan, pencapaian angka kredit bagi anggotanya, dan sebagainya.

Monday, November 5, 2012

Prinsip dan langkah-langkah Promosi Kesehatan

A. Prinsip-prinsip Promosi Kesehatan

  1. Promosi Kesehatan merupakan proses pemberdayaan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan, dan melindungi kesehatannya, lingkup yang lebih luas dari pendidikan atau penyuluhan kesehatan.
  2. Promosi kesehatan adalah upaya perubahan perilaku di bidang kesehatan disertai upaya mempengaruhi lingkungan atau hal-hal lain yang sangat berpengaruh terhadap perbaikan perilaku dan kualitas kesehatan
  3. Promosi Kesehatan berarti upaya promotif sebagai upaya perpaduan dari preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam rangkaian upaya kesehatan yang komprehensif
  4. Promosi Kesehatan merupakan pemberdayaan masyarakat juga dibarengi oleh upaya advokasi dna bina suasana (social support).
  5. Promosi kesehatan berpatokan pada PHBS yang dikembangkan dalam lima tatanan, yaitu di rumah, sekolah, tempat kerja, tempat umum, dan di sarana kesehatan
  6. Peran kemitraan lebih ditekankan pada promosi kesehatan. Dilandasi oleh kesamaan, keterbukaan, dan saling memberi manfaat.
  7. Promosi kesehatan juga lebih menekankan pada proses dan upaya tanpa meremehkan arti hasil atau dampak kesehatan.

B. Langkah-langkah Promosi Kesehatan

  1. Tahap Pengkajian

Tahapan pertama dalam perencanaan promosi kesehatan adalah pengkajian tentang apa yang dibutuhkan klien atau komunitas untuk menjadi sehat. Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi, dan komunikasi data tentang klien, baik individu maupun komunitas. Fase keperawatan ini mencakup dua langkah yaitu pengumpulan data, dari sumber primer (klien) dan sumber sekunder (keluarga, tenaga kesehatan), dan analisa data sebagai dasar untuk diagnosa keperawatan (Bandman dan Bandman, 1995). Pengkajian bertujuan untuk menetapkan dasar data tentang kebutuhan, masalah kesehatan, pengalaman yang terkait, praktik kesehatan, tujuan, nilai dan gaya hidup yang dilakukan klien. Informasi yang terkandung dalam dasar data adalah dasar untuk menetapkan proses asuhan keperawatan selanjutnya.
Pengkajian komunitas merupakan suatu proses; merupakan upaya untuk dapat mengenal masyarakat. Warga masyarakat merupakan mitra dan berkontribusi terhadap keseluruhan proses. Tujuan keperawatan dalam mengkaji komunitas adalah mengidentifikasi faktor-faktor (baik positif maupun negatif) yang mempengaruhi kesehatan warga masyarakat agar dapat mengembangkan startegi promosi kesehatan. Hancock dan Minkler (1997), mengemukakan bahwa bagi profesional kesehatan yang peduli tentang membangun masyarakat yang sehat, ada dua alasan dalam melakukan pengkajian kesehatan komunitas, yaitu sebagai informasi yang dibutuhkan untuk perubahan dan sebagai pemberdayaan.

     2. Tahap Perencanaan

a. Definisi Perencanaan Prosi Kesehatan
Tahap perencanaan penting untuk memastikan bahwa promosi kesehatan yang akan dilakukan terfokus pada prioritas kerja yang sesuai dengan tujuan/goal yaitu memberikan layanan keperawatan terbaik pada klien meliputi individu, kelompok maupun masyarakat. Model perencanaan diperlukan dalam promosi kesehatan karena perencanaan menyediakan cara untuk memandu pilihan sehingga keputusan yang dibuat mewakili cara terbaik untuk mencapai hasil yang diinginkan. Pendekatan rasional menunjukkan bahwa seluruh jajaran atau option harus diidentifikasi dan dipertimbangkan sebelum program komprehensif disusun. Model perencanaan rasional (Rational planning model) memberika pedoman pilihan dalam mengambil keputusan yang mewakili langkah terbaik untuk mencapai tujuan yang akan dicapai. Perencanaan memeiliki keuntungan supaya tujuan yang akan dicapai jelas oleh karena itu dalam tahap perencanaan memerlukan
1) Pengkajian kebutuhan promosi kesehatan
2) Penentuan tujuan mengenai apa yang akan dicapai
3) Penentuan taget berhubungan dengan tepat hasil. Target harus SMART; Sesific, Measurable, Achieveable, Realistic, Time-limited
4) Pemilihan metode atau strategi yang akan digunakan dalam pencapaian tujuan
5) Evaluasi hasil
b. Perencanaan Strategis Promosi Kesehatan
Strategis menjelaskan hasil yang diinginkan dan cara dalam pencapaian tujuan yang akan dicapai pada hasil pelaksanaan tetapi tidak selalu masuk ke detail tentang metode atau mengukur hasil. Perencanaan strategis mengacu pada perencanaan sebuah kegiatan berskala besar yang melibatkan berbagai intervensi pada patner yang berbeda dan bertahap. Pada “English white paper on Public Health” disebutkan bahwa perencanaan strategis mengacu pada kebutuhan yang telah digabungkan dan kebijakan yang terkait. Simnett (1995) menggambarkan beberapa tingkat/taraf dalam pengembangan strategi meliputi:
1) Identifikasi kegemaran patner
2) Diagnose, yaitu identifikasi kemana dan bagaimana kita menginginkan sesuatu yang berbeda
3) Visi, yaitu terkait dengan hasil yang diharapkan
4) Pembangunan, kebutuhan untuk merubah permintaan sesuai dengan apa yang dicitakan dan apakah program yang ada sejalan dengan harapan
5) Rencana pelaksanaan, yaitu rencana mengenai apa yang akan dilakukan selanjutnya
c. Model Perencanaan Promosi Kesehatan
Menurut Elwes dan Simnett (1999), kerangka kerja perencanaan promosi kesehatan dapat meliputi:
Stage 1: Identifikasi kebutuhan dan prioritas
Identifikasi kebutuhan dan prioritas memerlukan penelitian dan penyelidikan, atau mungkin dengan menyeleksi sebagian klien dilihat dari kasus yang menjadi problem. Identifikasi kebutuhan dapat dilakukan dengan melakukan penyelidikan/penelitian secara berurutan terhadap keadaan klien, bertanya langsung kepada klien tentang topik terkait informasi dan nasehat yang mereka perlukan. Selain itu, identifikasi dapat juga melihat pada cataan kasus untuk dapat mengidentifikasi topik yang bersifat umum. Contoh: tim kesehatan mungkin mengetahui bahwa banyak orangtua bermasalah dengan pola tidurnya, oleh karena itu pimpin atau beri arahkan kepada mereka untuk melakukan set up di klinik masalah tidur.
Model perencanaan lainnya dimulai dari perbedaan pint, contoh: pada Model perencanaan Tone’s (Tones, 1974) memulai dengan menetapkan tujuan promosi kesehatan yang kemudian dianalisa untuk menetukan intervensi pendidikan/promosi kesehatan yang tepat. Intervensi yang dilakukan dimodifikasi dengan merujuk karakteristik pada kelompok target, dan detail rencana program prendidikan. Model perencanaan Tone’s fokus pada intervensi pendidikan, keberlangsungan dari strategi nasional pada promosi kesehatan melengkapi tujuan promosi kesehatan dalam pelaksanaan. Menurut Berry (1986) model perencanaan dimulai dengan menyusun atau mengatur sebuah kelompok kerja untuk mengkaji ulang (review) masalah dan identifikasi proyek promosi kesehatan yang sesuai dengan kasus/masalah yang ada.
Stage 2: Mementukan tujuan dan target
Tujuan mengacu pada goal dengan meningkatkan kesehatan di beberapa area, contoh: mengurangi konsumsi alcohol karena berhubungan dengan terjadinya gangguan kesehatan. Objek atau sasaran membuhkan pernyataan spesifik dan harus merupakan pernyataan yang mengaktifkan objek bekerjasama dalam pencapaina tujuan yang dicita-citakan bersama. Objek atau sasaran kemudian diarahkan untuk diberi pendidikan, menciptakan kebiasaan yang sehat, mengacu pada kebijakan yang terkait, dan menganalisa proses serta hasil kelingkunga. Pendidikan objek/sasaran mungkin memutuskan beberapa kategori meliputi:
1) Level pengetahuan klien (objek) bertambah, terkait dengan masalah yang dibahas dalam promosi kesehatan
2) Affektif klien (objek) mengalami perubahan menuju pola hidup lebih sehat, yang dapat dilihat pada perubahan tingkah laku dan kepercayaan
3) Kebiasaan atau ketrampilan klien bertambah/ semakin mahir pada kompetensi dan ketrampilan baru
Target promosi kesehatan dapat meliputi tambaha sebagai berikut:
1) Perubahan kebiasaan, meliputi perubahan gaya hidup dan peningkatan pelayanan. Contoh: mengurangi kebiasaan merokok
2) Perubahan pada kebijakan kesehatan klien
3) Peningkatan partisipan dalam proses pelaksanaan dan kemampuan untuk bekerjasama. Contoh: meningkatkan/menggerakkan komunitas (partisipan) da sector dalam guna mendukung program Indonesia sehat 2010
4) Perubahan lingkungan menjadi lebih sehat, contoh membudayakan membuang sampah pada tempatnya.
Stage 3: Identifikasi metode yang tepat dalam pencapaian tujuan
Pemilihan metode disesuaikan dengan tujuan promosi kesehatan yang akan dicapai dan memperhatikan segi objek, artinya metode yang digunakan mampu memberi reflek pada objek/target yang dituju.
Satge 4: Identifikasi sumber yang terkait
Ketika objek dan metode telah diputuskan, tingkat perencanaan selanjutnya adalah mempertimbangkan mengenai sumber spesifik yang dibutuhakan dalam mengimplementasi strategi pelaksanaan. Sumber dapat berupa dana, ketrampilan dan keahlian, bahan seperti selebaran atau kotak pembelajaran, kebijakan yang menarik, rencana, fasilitas dan pelayanan.
Stage 5: Menyusun metode rencana evaluasi
Evaluasi harus berhubungan tujuan/sasaran yang telah disusun sebelumnya tetapi dapat diusahakan lebih dari tujuan yang telah ditapkan atau kurang dari yang dicita-citakan. Evaluasi dapat kita lakukan dengan menanyakan pada partisipan mengenai pemahaman informasi pada akhir sesi atau dapat juga dalam bentuk lebih formal seperti dengan menbagikan kuisioner kepeda peserta/partisipan untuk diisi sesuai apa yang dipahami atau dimengerti setelah pelaksanaan promosi keehatan.
Stage 6: Menyusun rencana pelaksanaan
Penyusunan rencana pelaksanaan merupakan tindakan yang meliputi penulisan detail rencana pelaksanaan, seperti identifikasi topik/masalah, orang yang akan menyampaikan informasi terkait dengan topic, sumber yang akan digunakan, rentang waktu hingga tahap rencana evaluasi.
Stage 7: Pelaksanaan atau Implementasi dari perencanaan
Merupakan tahap yang penting untuk selalu diperhatikan mengenai hal yang harus dan tidak harus dilakukan, sehingga tidak terjadi masalah yang tidak diharapkan. Pelaksanaan atau implementasi promosi kesehatan perlu direncanakan supaya dalam kenyataannya partisipan diharapkan mampu menyerap atau menerima, mengerti, memahami dan mau serta mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga diperoleh perubahan perilaku menjadi lebig sehat. hasil atau out-put yang ditunujukkan oleh partisipan setelah dilaksanakan promosi keehatan menjadi bahan dalam penusunan evaluasi.

    3. Tahap Implementasi

Tahap implementasi atau pelaksanaan adalah tindakan penyelesaian yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yakni untuk mencapai kesehatan yang optimal, implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana perawatan terhadap perilaku yang digambarkan dalam hasil individu yang diusulkan. Pemilihan intervensi keperawatan tergantung pada beberapa faktor:
a. hasil yang diinginkan klien
b. karakteristik dari diagnosa keperawatan
c. penelitian yang berkaitan dengan intervensi
d. kelayakan pelaksanaan intervensi
e. penerimaan intervensi oleh individu
f. kemampuan perawat
4. Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi pada promosi kesehatan pada dasarnya memiliki kesamaan dengan tahap evaluasi pada proses keperawatan secara umum.. Didalam tahapan evaluasi hal penting yang harus diperhatikan adalah standar ukuran yang digunakan untuk dijadikan suatu pedoman evaluasi. Standar ini diperoleh dari tujuan dan hasil yang diharapkan diadakannya suatu kegiatan tersebut. Kedua standar ini selalu dirumuskan ketika kegiatan ataupun tindakan keperawatan belum diberikan. Selain itu, dalam tahapan evaluasi juga dilakukan pengkajian lagi yang lebih dipusatkan pada pengkajian objektif dan subjektif klien atau objek kegiatan setelah dilakukan tindakan promosi kesehatan.